UAN, untuk Kepentingan Siapa?
- Kamis 29 April 2004, Koalisi Pelajar Peduli Pendidikan yang terdiri dari IPNU, IPPNU, dan PII menggelar dialog khusus menyoroti permasalahan UAN dengan mengundang dua nara sumber, pendidik, dan para pengurus OSIS dari berbagai sekolah. Banyak tulisan di berbagai media massa telah menyoroti kontroversi UAN. Beberapa di antaranya mengungkapkan pemborosan biaya (Kompas 13 dan 17 April 2004), kontradikasi UAN dengan UU Sisdiknas 20/2003 dan semangat MBS dan KBK (Kompas 12 dan 19 April 2004), kekhawatiran dan penolakan masyarakat (Kompas 21, 22, dan 23 April 2004) dan masih banyak isu lainnya terkait UAN. Artikel ini akan menyoroti diabaikannya siswa dan proses pendidikan dalam sistem pendidikan nasional.
Pendidikan terdiri dari dua dimensi: proses dan hasil. Keduanya sangat terkait dan tidak pernah tuntas selama manusia masih bernapas. Kedua dimensi ini memang perlu dinilai dan dievaluasi. Angka 4.01 tidak berarti apa-apa jika kita mau menilai suatu proses pendidikan. Bahkan untuk menilai “hasil,” angka tersebut juga menyesatkan. Apalagi tujuan dan prosedur pelaksanaan UAN ini juga masih belum jelas. Mengingat tingginya keberagaman populasi siswa di Indonesia, soal-soal UAN tidak bisa dibuat seragam untuk semua daerah. Suatu instrumen evaluasi yang sahih perlu memperhatikan skemata siswa dan konteks daerah. Misalnya saja, untuk mengembangkan kompetensi pengelolaan keuangan, siswa sekolah menengah di Surabaya bisa belajar menabungkan uang sakunya di bank. Sebaliknya, di Jatirogo, Tuban, siswa melihat dan belajar bagaimana uang diinvestasikan melalui anak kambing yang dibeli, dipelihara, dan dijual menjelang Hari Raya Korban. Kedua contoh proses pembelajaran ini sama kompleksnya namun relevan dengan konteks daerah masing-masing
Pengertian mengenai keberagaman daerah ini nampaknya masih rancu dalam pelaksanaan UAN. Menanggapi disparitas yang sangat tinggi antar sekolah, Kepala Pusat Penelitian Pendidikan Depdiknas Bahrul Hayat menjelaskan bahwa kompleksitas soal UAN akan dibedakan untuk masing-masing daerah (Kompas, 29 April 2004). Permasalahannya, jika kompleksitasnya yang dibedakan, maka tujuan UAN sebagai penetapan standarisasi tidak akan bisa dipenuhi.
Ketika kecemasan makin menumpuk sehubungan dengan pelaksanaan ujian, sekolah, guru, pengajar bimbingan belajar, dan orang tua mencekoki siswa dengan soal-soal tes. Mau tidak mau, upaya penjejalan ini akan mengambil waktu dan perhatian yang seharusnya digunakan untuk proses belajar mengajar. Sekolah yang seharusnya menyediakan lingkungan dan sarana prasarana belajar yang kondusif bagi siswa malah terjebak dan berubah menjadi tidak lebih dari bimbingan belajar. Guru yang seharusnya menjadi fasilitator yang mendampingi, mengamati, dan menilai kegiatan dan interaksi siswa juga ikut terjebak dan berubah menjadi mesin distribusi soal-soal latihan dan koreksi jawaban siswa. Fungsi mesin ini kemudian dilanjutkan di bimbingan belajar selepas jam sekolah. Orang tuapun ikut sibuk membelikan tambahan latihan soal-soal yang sudah dikomoditikan oleh penerbit dan toko buku. Yang tidak disadari, rantai kecemasan ini telah mengorbankan siswa yang seharusnya menjadi subyek dalam proses pendidikan.
Selain itu, proses yang terjadi dalam suatu program pendidikan seharusnya mengacu pada proses pertumbuhan. Proses pertumbuhan ini sebenarnya tidak terbatas pada pertumbuhan siswa. Jika saja siswa bisa dihargai sebagai subyek dalam proses pendidikan, niscaya pengelola sekolah, guru, orang tua, dan terutama juga para pejabat dan pembuat kebijakan justru bisa ikut tumbuh dan belajar dari para siswa. Jika saja para penggagas, penyusun, dan penyelenggara UAN (dan segala variannya di daerah) mau belajar dari para siswa, model evaluasi dalam sistem pendidikan nasional kita sudah tumbuh lebih signifikan dari sekedar penggantian label dari EBTANAS menjadi UAN (atau EBTADA menjadi UKM dsb) dan mutu pendidikan nasional kita juga bisa tumbuh. Semoga saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar