Seputar UNAS
UAN Menjadikan Arah Pendidikan SMA Menjadi Bias, Tetapi Masih Diperlukan
Pada masa reformasi penyelenggaraan UAN dianggap semacam ritual yang mubasir. Karena bertekad melaksanakan UAN, Pemerintah selayaknya menuai kritikan tajam. Banyak mudarat dari UAN tetapi untuk pengendalian mutu masih tetap diperlukan. Sudah barang tentu dengan formula perubahan wacana yang mendasar.
Keputusan Pemerintah untuk tetap mengadakan Ujian Nasional langsung mendapat tanggapan kontra dari salah seorang anggota dewan dari Komisi X dan Koordinator Koalisi Pendidikan ( Kompas, 20/1/2004). Mereka memberikan argumen yang berlainan terhadap kebijakan Pemerintah namun tidak memberikan solusi atas sikap pemerintah bagaimana mengendalikan mutu pendidikan. Sementara Pemerintah memandang bahwa UAN masih sangat diperlukan sebagai alat kontrol mutu pendidikan karena pada masa euphoria otonomi dikhawatirkan sekolah berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas.
Pada awal standard kelulusan dicanangkan pada angka 3,01 untuk tahun ajaran 2002/2003, Pemerintah tidak mendapat tanggapan kontra. Hal demikian bisa dipahami bahwa standar 3,01 dimungkinkan masih bisa diraih oleh hampir semua siswa. Tetapi pada tahun berikutnya dengan terbitnya keputusan Mendiknas Nomor 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional dengan standar 4,01 muncullah berbagai pendapat kontra dan kritikan tajam. Dan demonstrasi menentang keputusan Mendiknas pun tak terelakkan. Asumsi yang mendasari kesemuanya itu pada umumnya adalah kekhawatiran banyaknya siswa yang akan tidak lulus, bila bercermin pada perolehan hasil ujian nasional pada tahun 2002/2003.
Standar UAN yang sekarang dipatok dengan angka 4,25 sebetulnya tidak matching dengan kurikulum 1994 yang berlaku. Angka tersebut masih jauh berada di bawah standar kenaikan kelas, yaitu 6,00. Logikanya standar UAN yang diberlakukan sekarang tidak perlu diributkan. Kalau kita sudah terbiasa dengan dengan angka 6,00 mengapa harus takut dengan angka 4,01 dan 4,25? Simpulannya tentu ada yang tidak beres dengan sekolah kita. Di sini kita semua harus introspeksi seperti apakah sekolah kita ini?. Tanpa diragukan semua akan mengatakan sekolah kita mutunya rendah.
Biang kenaikan standar kelulusan UAN adalah rendahnya mutu pendidikan dengan tradisi lulus seratus persen. Persepsi yang terjadi di masyarakat terhadap sekolah yang bermutu berangkat dari prosentase kelulusannya. Sehingga sekolah berusaha meluluskan semua siswanya tanpa menghiraukan hasil ujian nasional. Maka terjadilah manipulasi nilai yang mencengangkan karena rentang nilai ujian nasional dengan ujian sekolah terlalu lebar. Kondisi tersebut harus segera diperbaiki dengan kebijakan yang merangsang motivasi untuk berkompetisi antarsiswa maupun antarguru (Indra Jati Sidi, Kompas : 3/3/04).
Problematika Sekitar UAN
Tetapi penyelenggaraan UAN yang dimaksudkan untuk pemetaan dan memperbaiki mutu pendidikan sulit dipertanggungjawabkan karena cakupan mata pelajaran (mapel) yang diujikan hanya tiga mata pelajaran untuk setiap jurusan. Adapun untuk SMA jurusan IPA terdiri atas Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika sedangkan untuk IPS yaitu Bahasa dan sastra Indonesia, Bahasa Inggris dan Ekonomi. Bahkan bisa dikatakan dengan adanya UAN arah pendidikan menjadi bias. Fakta di lapangan menunjukkan banyak sekolah yang mengkonsentrasikan diri hanya pada mapel UAN. Semua sekolah menyiapkan diri menyambut UAN dengan mengadakan pengayaan untuk mapel UAN pada sore hari.
Keadaan tersebut tidak menguntungkan bagi pengembangan sains karena UAN tidak memasukkan mapel sains seperti Fisika, kimia dan Biologi. Ketiadaan hubungan antara mapel sains dengan UAN menyebabkan sekolah lebih memilih mengabaikan keberadaan ketiga mapel tersebut. Kecenderungan demikian didukung oleh anggapan bahwa mutu sekolah seolah-olah ditentukan oleh mapel UAN. Sedangkan masalah penilaiann mapel sains yang diserahkan kepada sekolah gampang diatur.
Konskuensi logis terhadap guru sains, secara psikologis merasa dimarjinalkan. Pengaruhnya terhadap proses pembelajaran sangat besar karena guru merasa tidak ada tuntutan akuntabilitas. Tidak ada dukungan motif yang kuat untuk apa sains diajarkan, kecuali hanya sekedar untuk mengisi jadwal kelas. Masalah nilai bisa diatur. Kondisi demikian diperparah oleh perilaku permisif oleh semua warga sekolah lantaran orientasi sekolah pada target kelulusan siswa.
Jargon penilaian "gampang diatur" menjerumuskan sekolah dengan laporan-laporan palsu kepada masyarakat. Sekolah sebagai pemegang otoritas kelulusan lebih memilih resiko minimal terhadap masyarakat. Strategi yang digunakan adalah menyiapkan nilai mapel yang tidak di-UAN-kan di atas ambang nilai 4,25. Dengan demikian kelulusan siswa hanya tergantung dari mapel UAN, dan sekolah tidak merasa punya beban.
Pengaruh mapel UAN menjerumuskan arah karier hidup siswa. Anggapan yang berkembang mapel UAN merupakan doktrin terpenting bagi siswa. Bila ada salah satu mapel yang gagal ibarat hidup sudah gagal. Padahal siswa berkembang dengan potensi yang dimilikinya, dan memilih jalan hidup sesusai dengan potensinya. Untuk apa belajar ekonomi sampai puyeng, kalau siswa mencintai seni atau untuk apa belajar bahasa Indonesia setengah mati kalau siswa lebih tertarik menjadi olahragawan dari pada Linguist. Toh dengan kemampuan Bahasa Indonesia yang ia kuasai ia bisa berkomunikasi melalang ke seluruh penjuru Nusantara.
Dan hasil UAN tidak bermanfaat bagi siswa SMA yang punya minat ke Perguruan Tinggi. Tampak tidak adanya kontinyuitas antara SMA dan perguruan tinggi, mengapa harus mengikuti seleksi lagi untuk mapel yang sama. Nota bene naskah mapel yang dibuat para ahli berdasarkan standar nasional, jadi bukan karena scope pelaksanaan yang bersamaan secara nasional. Bila memang sudah berstandar nasional tentunya tidak perlu lagi adanya seleksi untuk mapel yang sama agar tidak terjadi inefisiensi. Ironis memang, nilai cost yang dikeluarkan begitu tinggi sama sekali kurang bermanfaat, hanya sekedar bahan pertimbangan kelulusan. Masuk akal juga bila ada sementara pihak yang menyebut UAN bernuansa proyek.
Pelaksanaan UAN
Dana ratusan milyard rupiah untuk penyelenggaraan UAN bisa diminimal-kan dengan cara desentralisasi. Contoh simpel dan konkrit yang menyangkut UAN adalah dana penggandaan naskah dan koreksi lembar jawab. Pengelolaan kedua hal tersebut bisa diserahkan kepada sekolah atau Dinas Pendidikan Kabupaten. Dan Pemerintah Pusat hanya menyediakan master soal dalam bentuk disket sedangkan untuk pencetakannya dilakukan oleh sekolah dengan subsidi dari pemerintah. Kemudian untuk koreksi lembar jawab tidak perlu dilakukan terpusat di Propinsi, karena sebetulnya sekolah atau Dinas Pendidikan Kabupaten pun mampu melaksanakan tugas tersebut. Baru dari dua poin itu saja sudah bisa dilakukan efisiensi jutaan rupiah.
Agar UAN berfungsi seperti yang diharapkan oleh pemerintah sebagai pengendali mutu yang bermuara pada pengembangan SDM Indonesia, hendaknya UAN punya ruh yang mampu memberikan motivasi berprestasi dan berkompetisi antar siswa, serta guru-gurunya. Bagi siswa jurusan IPA, mapel UAN seolah tidak menyentuh esensi apa yang selama ini dipelajari. Ciri khas jurusan yang menjadi kebanggaanya, seperti Fisika, Kimia, dan Biologi, tak begitu bermakna bila dibanding dengan mapel UAN. Makna mengapa siswa mengambil jurusan IPA merupakan pilihan azasi yang berkait dengan pilihan hidup. Untuk itu UAN harus bisa dimaknai oleh siswa. Dengan demikian ada salah satu alasan bagi siswa mengapa harus berpacu belajar sains.
UAN Diperlukan
Pengalaman menarik di sekolah, ditemukan bahwa ada seorang siswa hanya lulus pada UAN ulangan tidak lulus pada UAN utama, tetapi ia berhasil diterima masuk di perguruan tinggi (PT) melalui jalur PMDK. Setelah beberapa semester sekolah mengecek keberadaan mahasiswa tersebut apakah kena DO atau tidak, tetapi malah mengherankan bahwa mahasiswa tersebut punya indek prestasi yang bagus. Lalu apa kaitannya dengan UAN? Bila UAN dengan mapel yang sekarang diujikan, sebaiknya sistem tidak lulus ditiadakan karena hanya menghambat karier siswa. Hasil UAN tidak perlu dijadikan tolok ukur kelulusan sekolah tetapi dijadikan acuan indeks peringkat sekolah. Sehingga tidak diperlukan batas ambang, berapapun hasil UAN yang ada ditulis pada ijazah. Namun hanya dengan tiga mapel, hasil UAN tidak valid untuk menggambarkan prestasi sebuah sekolah.
Pengertian yang dimaksud dengan sistem tidak lulus ditiadakan adalah berapapun nilai UAN yang diperoleh oleh siswa, tidak mempengaruhi siswa untuk tidak lulus. Tetapi bila hal ini diterapkan, tentunya sistem tidak naik kelas juga tidak ada. Sehingga yang ada adalah siswa naik kelas dan lulus. Pengaruhnya terhadap siswa, memungkinkan ia mengembangkan potensi yang dimiliki semaksimal mungkin. Karena sejak awal ia sudah punya pilihan mapel sesuai dengan potensi dirinya, dan tentunya ia dengan senang hati mempelajari mapel tersebut secara sungguh-sungguh. Dampak negatifnya akan ada mapel yang diabaikan, sehingga nilainya sangat rendah. Tetapi ke depan ia akan menjadi seorang spesialis yang professional bukan generalis yang canggung. Sebaliknya dengan adanya UAN sebagai pertimbangan kelulusan, siswa suka atau tidak suka, mendapat manfaat atau tidak bagi kehidupannya kelak, siswa terpaksa belajar karena takut gagal, menghambat karier hidupnya. Siwa tidak punya pilihan lain untuk belajar sesuai dengan potensi yang dimiliki.
UAN sebagai alat kontrol sekolah pada era otonomi masih diperlukan sepanjang tidak digunakan sebagai penentu kelulusan namun berfungsi layaknya instrumen penelitian. Tetapi mapel UAN diperluas. Dari data yang diperoleh bisa digunakan sebagai bahan rekomendasi terhadap Depdiknas dalam pengambilan kebijakan pendidikan untuk meningkatkan mutu. Dari hasil tersebut bisa juga diperoleh peringkat kedudukan sekolah yang satu dengan yang lain. Akibatnya sekolah secara moral tetap terikat komitmen pada standar baku yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Dan kekhawatiran terjadinya rentang mutu sekolah yang jauh antara satu dengan yang lain bisa dihindari. Sekaligus melindungi hak guru sebagai pemegang otoritas evaluasi seperti tercantum pada pasal 58 UU Sisdiknas.
Alasan lain UAN tetap diperlukan adalah sebagai alat seleksi ke PT, oleh sebab itu bukan sebagai bahan pertimbangan kelulusan. Namun dengan tiga mapel UAN tersebut tidaklah representatif, harus ditambah sesuai dengan kebutuhan di PT. Dan sudah barang tentu tidak semua siswa melanjutkan ke ke PT, konskuesinya juga tidak semua siswa mengikuti UAN. Karena menyangkut dengan institusi lain, koordinasi antara Departemen Pendidikan dan PT diperlukan.
Saya sependapat dengan wacana tentang Ujian Akhir Nasional perlu dibuat standarisasi pendidikan. (Kompas, 16/3/2003). Diasumsikan pengaruhnya terhadap sekolah akan sangat besar, yaitu adanya persaingan antar sekolah. Mereka akan berpacu menggenjot siswanya belajar semaksimal mungkin dengan harapan untuk mendapatkan peringkat atas. Namun hal ini pun juga tidak punya makna bila kecurangan-kecurangan tetap muncul di sekolah (kompas, 29/1/2005). Dan ini bukan sebuah dilemma tetapi sebuah persoalan yang menarik untuk selalu dicermati.
UAN sebagai alat pengendali mutu sulit diterima keabsahannya. Desain formula UAN diperlukan yang memungkinkan mampu mewadahi berbagai kepentingan. Dan UAN tetap diperlukan dengan berbagai prasarat yang menyertainya.
Selasa, 16 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar