Minggu, 18 April 2010

Tugas ujian praktek


Tentang Pendidikan ;
Setelah saya lulus SMP saya akan melanjutkan ke sekolah jenjang yang lebih tinggi, Saya akan mencoba mendaftar ke SMK N 1 Sedayu, jika gagal saya dan teman teman di desa saya sudah janjian akan ke MAN(Madarasah Aliyah Negri) Godean. . . . .
Semoga saja, saya lulus dengan nilai yang cukup baik. . . ammmmmiiiiiiiieeeeeeennnnnnnnn, , , , agar diterima di SMA/MAN/SMK yg saya cita citakan, , , , , do'akan saya ya teman teman. . . . . .!!!! smoga kelas 9 SMP 1 sedayu lulus 100%, amiennnn, , , , ,
smoga stelah lulus SMP nanti saya dan kawan2 dr zpezada bisa brjumpa lagi. .. . .
Oleh; Gilang aNggar K.
No;02-040-195-6
SMP 1 SEDAYU

Senin, 05 April 2010



Don'T cHeat. . . . .!!!!

watata. . . .

Selasa, 16 Februari 2010

UNAS?? SOPO WEDHI???!!

    UAN, untuk Kepentingan Siapa?

    Kamis 29 April 2004, Koalisi Pelajar Peduli Pendidikan yang terdiri dari IPNU, IPPNU, dan PII menggelar dialog khusus menyoroti permasalahan UAN dengan mengundang dua nara sumber, pendidik, dan para pengurus OSIS dari berbagai sekolah. Banyak tulisan di berbagai media massa telah menyoroti kontroversi UAN. Beberapa di antaranya mengungkapkan pemborosan biaya (Kompas 13 dan 17 April 2004), kontradikasi UAN dengan UU Sisdiknas 20/2003 dan semangat MBS dan KBK (Kompas 12 dan 19 April 2004), kekhawatiran dan penolakan masyarakat (Kompas 21, 22, dan 23 April 2004) dan masih banyak isu lainnya terkait UAN. Artikel ini akan menyoroti diabaikannya siswa dan proses pendidikan dalam sistem pendidikan nasional.
Seperti dilansir di media massa, Koalisi Pelajar Peduli Pendidikan juga membuka Posko Pengaduan Dampak UAN. Kepedulian para pelajar dalam koalisi ini sangat menggembirakan dan patut kita syukuri terutama ketika kontroversi soal UAN ini mencuat akhir-akhir ini. Koalisi ini membuktikan bahwa para pelajar justru sedang mengalami suatu proses pendidikan yang tidak akan bisa diukur dengan secarik kertas dan skor ujian yang ditengarai akan menghabiskan dana negara sebesar Rp. 1 triliun (Kompas 17 April 2004). Mereka juga sedang mengasah kompetensi (berpikir, menganalisis, mencari akar dan solusi permasalahan, berkomunikasi, bekerja sama, dan memimpin) sementara guru-guru mereka beserta dengan para penatar dan pejabatnya masih sedang bingung apa yang harus dilakukan dengan KBK yang akhirnya sekarang diplesetkan menjadi Kurikulum Bingung Kabeh. Yang lebih menarik, para pelajar ini juga sedang menyaksikan betapa para pejabat yang telah membuat dan mengesahkan UU Sisdiknas 20/2003 justru telah melanggar undang-undang yang mereka buat dan sahkan sendiri (tidak dipenuhinya alokasi anggaran 20%, belum terselenggaranya pendidikan dasar gratis yang bermutu, dan kini penyelenggaraan UAN yang bertentangan dengan pasal-pasal UU Sisdiknas 20/2003).

Pendidikan terdiri dari dua dimensi: proses dan hasil. Keduanya sangat terkait dan tidak pernah tuntas selama manusia masih bernapas. Kedua dimensi ini memang perlu dinilai dan dievaluasi. Angka 4.01 tidak berarti apa-apa jika kita mau menilai suatu proses pendidikan. Bahkan untuk menilai “hasil,” angka tersebut juga menyesatkan. Apalagi tujuan dan prosedur pelaksanaan UAN ini juga masih belum jelas. Mengingat tingginya keberagaman populasi siswa di Indonesia, soal-soal UAN tidak bisa dibuat seragam untuk semua daerah. Suatu instrumen evaluasi yang sahih perlu memperhatikan skemata siswa dan konteks daerah. Misalnya saja, untuk mengembangkan kompetensi pengelolaan keuangan, siswa sekolah menengah di Surabaya bisa belajar menabungkan uang sakunya di bank. Sebaliknya, di Jatirogo, Tuban, siswa melihat dan belajar bagaimana uang diinvestasikan melalui anak kambing yang dibeli, dipelihara, dan dijual menjelang Hari Raya Korban. Kedua contoh proses pembelajaran ini sama kompleksnya namun relevan dengan konteks daerah masing-masing

Pengertian mengenai keberagaman daerah ini nampaknya masih rancu dalam pelaksanaan UAN. Menanggapi disparitas yang sangat tinggi antar sekolah, Kepala Pusat Penelitian Pendidikan Depdiknas Bahrul Hayat menjelaskan bahwa kompleksitas soal UAN akan dibedakan untuk masing-masing daerah (Kompas, 29 April 2004). Permasalahannya, jika kompleksitasnya yang dibedakan, maka tujuan UAN sebagai penetapan standarisasi tidak akan bisa dipenuhi.

Ketika kecemasan makin menumpuk sehubungan dengan pelaksanaan ujian, sekolah, guru, pengajar bimbingan belajar, dan orang tua mencekoki siswa dengan soal-soal tes. Mau tidak mau, upaya penjejalan ini akan mengambil waktu dan perhatian yang seharusnya digunakan untuk proses belajar mengajar. Sekolah yang seharusnya menyediakan lingkungan dan sarana prasarana belajar yang kondusif bagi siswa malah terjebak dan berubah menjadi tidak lebih dari bimbingan belajar. Guru yang seharusnya menjadi fasilitator yang mendampingi, mengamati, dan menilai kegiatan dan interaksi siswa juga ikut terjebak dan berubah menjadi mesin distribusi soal-soal latihan dan koreksi jawaban siswa. Fungsi mesin ini kemudian dilanjutkan di bimbingan belajar selepas jam sekolah. Orang tuapun ikut sibuk membelikan tambahan latihan soal-soal yang sudah dikomoditikan oleh penerbit dan toko buku. Yang tidak disadari, rantai kecemasan ini telah mengorbankan siswa yang seharusnya menjadi subyek dalam proses pendidikan.

Selain itu, proses yang terjadi dalam suatu program pendidikan seharusnya mengacu pada proses pertumbuhan. Proses pertumbuhan ini sebenarnya tidak terbatas pada pertumbuhan siswa. Jika saja siswa bisa dihargai sebagai subyek dalam proses pendidikan, niscaya pengelola sekolah, guru, orang tua, dan terutama juga para pejabat dan pembuat kebijakan justru bisa ikut tumbuh dan belajar dari para siswa. Jika saja para penggagas, penyusun, dan penyelenggara UAN (dan segala variannya di daerah) mau belajar dari para siswa, model evaluasi dalam sistem pendidikan nasional kita sudah tumbuh lebih signifikan dari sekedar penggantian label dari EBTANAS menjadi UAN (atau EBTADA menjadi UKM dsb) dan mutu pendidikan nasional kita juga bisa tumbuh. Semoga saja.

UNAS?? SOPO WEDHI???!!

Seputar UNAS

UAN Menjadikan Arah Pendidikan SMA Menjadi Bias, Tetapi Masih Diperlukan
Pada masa reformasi penyelenggaraan UAN dianggap semacam ritual yang mubasir. Karena bertekad melaksanakan UAN, Pemerintah selayaknya menuai kritikan tajam. Banyak mudarat dari UAN tetapi untuk pengendalian mutu masih tetap diperlukan. Sudah barang tentu dengan formula perubahan wacana yang mendasar.

Keputusan Pemerintah untuk tetap mengadakan Ujian Nasional langsung mendapat tanggapan kontra dari salah seorang anggota dewan dari Komisi X dan Koordinator Koalisi Pendidikan ( Kompas, 20/1/2004). Mereka memberikan argumen yang berlainan terhadap kebijakan Pemerintah namun tidak memberikan solusi atas sikap pemerintah bagaimana mengendalikan mutu pendidikan. Sementara Pemerintah memandang bahwa UAN masih sangat diperlukan sebagai alat kontrol mutu pendidikan karena pada masa euphoria otonomi dikhawatirkan sekolah berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas.

Pada awal standard kelulusan dicanangkan pada angka 3,01 untuk tahun ajaran 2002/2003, Pemerintah tidak mendapat tanggapan kontra. Hal demikian bisa dipahami bahwa standar 3,01 dimungkinkan masih bisa diraih oleh hampir semua siswa. Tetapi pada tahun berikutnya dengan terbitnya keputusan Mendiknas Nomor 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional dengan standar 4,01 muncullah berbagai pendapat kontra dan kritikan tajam. Dan demonstrasi menentang keputusan Mendiknas pun tak terelakkan. Asumsi yang mendasari kesemuanya itu pada umumnya adalah kekhawatiran banyaknya siswa yang akan tidak lulus, bila bercermin pada perolehan hasil ujian nasional pada tahun 2002/2003.

Standar UAN yang sekarang dipatok dengan angka 4,25 sebetulnya tidak matching dengan kurikulum 1994 yang berlaku. Angka tersebut masih jauh berada di bawah standar kenaikan kelas, yaitu 6,00. Logikanya standar UAN yang diberlakukan sekarang tidak perlu diributkan. Kalau kita sudah terbiasa dengan dengan angka 6,00 mengapa harus takut dengan angka 4,01 dan 4,25? Simpulannya tentu ada yang tidak beres dengan sekolah kita. Di sini kita semua harus introspeksi seperti apakah sekolah kita ini?. Tanpa diragukan semua akan mengatakan sekolah kita mutunya rendah.

Biang kenaikan standar kelulusan UAN adalah rendahnya mutu pendidikan dengan tradisi lulus seratus persen. Persepsi yang terjadi di masyarakat terhadap sekolah yang bermutu berangkat dari prosentase kelulusannya. Sehingga sekolah berusaha meluluskan semua siswanya tanpa menghiraukan hasil ujian nasional. Maka terjadilah manipulasi nilai yang mencengangkan karena rentang nilai ujian nasional dengan ujian sekolah terlalu lebar. Kondisi tersebut harus segera diperbaiki dengan kebijakan yang merangsang motivasi untuk berkompetisi antarsiswa maupun antarguru (Indra Jati Sidi, Kompas : 3/3/04).

Problematika Sekitar UAN

Tetapi penyelenggaraan UAN yang dimaksudkan untuk pemetaan dan memperbaiki mutu pendidikan sulit dipertanggungjawabkan karena cakupan mata pelajaran (mapel) yang diujikan hanya tiga mata pelajaran untuk setiap jurusan. Adapun untuk SMA jurusan IPA terdiri atas Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika sedangkan untuk IPS yaitu Bahasa dan sastra Indonesia, Bahasa Inggris dan Ekonomi. Bahkan bisa dikatakan dengan adanya UAN arah pendidikan menjadi bias. Fakta di lapangan menunjukkan banyak sekolah yang mengkonsentrasikan diri hanya pada mapel UAN. Semua sekolah menyiapkan diri menyambut UAN dengan mengadakan pengayaan untuk mapel UAN pada sore hari.

Keadaan tersebut tidak menguntungkan bagi pengembangan sains karena UAN tidak memasukkan mapel sains seperti Fisika, kimia dan Biologi. Ketiadaan hubungan antara mapel sains dengan UAN menyebabkan sekolah lebih memilih mengabaikan keberadaan ketiga mapel tersebut. Kecenderungan demikian didukung oleh anggapan bahwa mutu sekolah seolah-olah ditentukan oleh mapel UAN. Sedangkan masalah penilaiann mapel sains yang diserahkan kepada sekolah gampang diatur.

Konskuensi logis terhadap guru sains, secara psikologis merasa dimarjinalkan. Pengaruhnya terhadap proses pembelajaran sangat besar karena guru merasa tidak ada tuntutan akuntabilitas. Tidak ada dukungan motif yang kuat untuk apa sains diajarkan, kecuali hanya sekedar untuk mengisi jadwal kelas. Masalah nilai bisa diatur. Kondisi demikian diperparah oleh perilaku permisif oleh semua warga sekolah lantaran orientasi sekolah pada target kelulusan siswa.

Jargon penilaian "gampang diatur" menjerumuskan sekolah dengan laporan-laporan palsu kepada masyarakat. Sekolah sebagai pemegang otoritas kelulusan lebih memilih resiko minimal terhadap masyarakat. Strategi yang digunakan adalah menyiapkan nilai mapel yang tidak di-UAN-kan di atas ambang nilai 4,25. Dengan demikian kelulusan siswa hanya tergantung dari mapel UAN, dan sekolah tidak merasa punya beban.

Pengaruh mapel UAN menjerumuskan arah karier hidup siswa. Anggapan yang berkembang mapel UAN merupakan doktrin terpenting bagi siswa. Bila ada salah satu mapel yang gagal ibarat hidup sudah gagal. Padahal siswa berkembang dengan potensi yang dimilikinya, dan memilih jalan hidup sesusai dengan potensinya. Untuk apa belajar ekonomi sampai puyeng, kalau siswa mencintai seni atau untuk apa belajar bahasa Indonesia setengah mati kalau siswa lebih tertarik menjadi olahragawan dari pada Linguist. Toh dengan kemampuan Bahasa Indonesia yang ia kuasai ia bisa berkomunikasi melalang ke seluruh penjuru Nusantara.

Dan hasil UAN tidak bermanfaat bagi siswa SMA yang punya minat ke Perguruan Tinggi. Tampak tidak adanya kontinyuitas antara SMA dan perguruan tinggi, mengapa harus mengikuti seleksi lagi untuk mapel yang sama. Nota bene naskah mapel yang dibuat para ahli berdasarkan standar nasional, jadi bukan karena scope pelaksanaan yang bersamaan secara nasional. Bila memang sudah berstandar nasional tentunya tidak perlu lagi adanya seleksi untuk mapel yang sama agar tidak terjadi inefisiensi. Ironis memang, nilai cost yang dikeluarkan begitu tinggi sama sekali kurang bermanfaat, hanya sekedar bahan pertimbangan kelulusan. Masuk akal juga bila ada sementara pihak yang menyebut UAN bernuansa proyek.

Pelaksanaan UAN

Dana ratusan milyard rupiah untuk penyelenggaraan UAN bisa diminimal-kan dengan cara desentralisasi. Contoh simpel dan konkrit yang menyangkut UAN adalah dana penggandaan naskah dan koreksi lembar jawab. Pengelolaan kedua hal tersebut bisa diserahkan kepada sekolah atau Dinas Pendidikan Kabupaten. Dan Pemerintah Pusat hanya menyediakan master soal dalam bentuk disket sedangkan untuk pencetakannya dilakukan oleh sekolah dengan subsidi dari pemerintah. Kemudian untuk koreksi lembar jawab tidak perlu dilakukan terpusat di Propinsi, karena sebetulnya sekolah atau Dinas Pendidikan Kabupaten pun mampu melaksanakan tugas tersebut. Baru dari dua poin itu saja sudah bisa dilakukan efisiensi jutaan rupiah.

Agar UAN berfungsi seperti yang diharapkan oleh pemerintah sebagai pengendali mutu yang bermuara pada pengembangan SDM Indonesia, hendaknya UAN punya ruh yang mampu memberikan motivasi berprestasi dan berkompetisi antar siswa, serta guru-gurunya. Bagi siswa jurusan IPA, mapel UAN seolah tidak menyentuh esensi apa yang selama ini dipelajari. Ciri khas jurusan yang menjadi kebanggaanya, seperti Fisika, Kimia, dan Biologi, tak begitu bermakna bila dibanding dengan mapel UAN. Makna mengapa siswa mengambil jurusan IPA merupakan pilihan azasi yang berkait dengan pilihan hidup. Untuk itu UAN harus bisa dimaknai oleh siswa. Dengan demikian ada salah satu alasan bagi siswa mengapa harus berpacu belajar sains.

UAN Diperlukan

Pengalaman menarik di sekolah, ditemukan bahwa ada seorang siswa hanya lulus pada UAN ulangan tidak lulus pada UAN utama, tetapi ia berhasil diterima masuk di perguruan tinggi (PT) melalui jalur PMDK. Setelah beberapa semester sekolah mengecek keberadaan mahasiswa tersebut apakah kena DO atau tidak, tetapi malah mengherankan bahwa mahasiswa tersebut punya indek prestasi yang bagus. Lalu apa kaitannya dengan UAN? Bila UAN dengan mapel yang sekarang diujikan, sebaiknya sistem tidak lulus ditiadakan karena hanya menghambat karier siswa. Hasil UAN tidak perlu dijadikan tolok ukur kelulusan sekolah tetapi dijadikan acuan indeks peringkat sekolah. Sehingga tidak diperlukan batas ambang, berapapun hasil UAN yang ada ditulis pada ijazah. Namun hanya dengan tiga mapel, hasil UAN tidak valid untuk menggambarkan prestasi sebuah sekolah.

Pengertian yang dimaksud dengan sistem tidak lulus ditiadakan adalah berapapun nilai UAN yang diperoleh oleh siswa, tidak mempengaruhi siswa untuk tidak lulus. Tetapi bila hal ini diterapkan, tentunya sistem tidak naik kelas juga tidak ada. Sehingga yang ada adalah siswa naik kelas dan lulus. Pengaruhnya terhadap siswa, memungkinkan ia mengembangkan potensi yang dimiliki semaksimal mungkin. Karena sejak awal ia sudah punya pilihan mapel sesuai dengan potensi dirinya, dan tentunya ia dengan senang hati mempelajari mapel tersebut secara sungguh-sungguh. Dampak negatifnya akan ada mapel yang diabaikan, sehingga nilainya sangat rendah. Tetapi ke depan ia akan menjadi seorang spesialis yang professional bukan generalis yang canggung. Sebaliknya dengan adanya UAN sebagai pertimbangan kelulusan, siswa suka atau tidak suka, mendapat manfaat atau tidak bagi kehidupannya kelak, siswa terpaksa belajar karena takut gagal, menghambat karier hidupnya. Siwa tidak punya pilihan lain untuk belajar sesuai dengan potensi yang dimiliki.

UAN sebagai alat kontrol sekolah pada era otonomi masih diperlukan sepanjang tidak digunakan sebagai penentu kelulusan namun berfungsi layaknya instrumen penelitian. Tetapi mapel UAN diperluas. Dari data yang diperoleh bisa digunakan sebagai bahan rekomendasi terhadap Depdiknas dalam pengambilan kebijakan pendidikan untuk meningkatkan mutu. Dari hasil tersebut bisa juga diperoleh peringkat kedudukan sekolah yang satu dengan yang lain. Akibatnya sekolah secara moral tetap terikat komitmen pada standar baku yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Dan kekhawatiran terjadinya rentang mutu sekolah yang jauh antara satu dengan yang lain bisa dihindari. Sekaligus melindungi hak guru sebagai pemegang otoritas evaluasi seperti tercantum pada pasal 58 UU Sisdiknas.

Alasan lain UAN tetap diperlukan adalah sebagai alat seleksi ke PT, oleh sebab itu bukan sebagai bahan pertimbangan kelulusan. Namun dengan tiga mapel UAN tersebut tidaklah representatif, harus ditambah sesuai dengan kebutuhan di PT. Dan sudah barang tentu tidak semua siswa melanjutkan ke ke PT, konskuesinya juga tidak semua siswa mengikuti UAN. Karena menyangkut dengan institusi lain, koordinasi antara Departemen Pendidikan dan PT diperlukan.

Saya sependapat dengan wacana tentang Ujian Akhir Nasional perlu dibuat standarisasi pendidikan. (Kompas, 16/3/2003). Diasumsikan pengaruhnya terhadap sekolah akan sangat besar, yaitu adanya persaingan antar sekolah. Mereka akan berpacu menggenjot siswanya belajar semaksimal mungkin dengan harapan untuk mendapatkan peringkat atas. Namun hal ini pun juga tidak punya makna bila kecurangan-kecurangan tetap muncul di sekolah (kompas, 29/1/2005). Dan ini bukan sebuah dilemma tetapi sebuah persoalan yang menarik untuk selalu dicermati.

UAN sebagai alat pengendali mutu sulit diterima keabsahannya. Desain formula UAN diperlukan yang memungkinkan mampu mewadahi berbagai kepentingan. Dan UAN tetap diperlukan dengan berbagai prasarat yang menyertainya.
Seputar UNAS

UAN Menjadikan Arah Pendidikan SMA Menjadi Bias, Tetapi Masih Diperlukan
Pada masa reformasi penyelenggaraan UAN dianggap semacam ritual yang mubasir. Karena bertekad melaksanakan UAN, Pemerintah selayaknya menuai kritikan tajam. Banyak mudarat dari UAN tetapi untuk pengendalian mutu masih tetap diperlukan. Sudah barang tentu dengan formula perubahan wacana yang mendasar.

Keputusan Pemerintah untuk tetap mengadakan Ujian Nasional langsung mendapat tanggapan kontra dari salah seorang anggota dewan dari Komisi X dan Koordinator Koalisi Pendidikan ( Kompas, 20/1/2004). Mereka memberikan argumen yang berlainan terhadap kebijakan Pemerintah namun tidak memberikan solusi atas sikap pemerintah bagaimana mengendalikan mutu pendidikan. Sementara Pemerintah memandang bahwa UAN masih sangat diperlukan sebagai alat kontrol mutu pendidikan karena pada masa euphoria otonomi dikhawatirkan sekolah berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas.

Pada awal standard kelulusan dicanangkan pada angka 3,01 untuk tahun ajaran 2002/2003, Pemerintah tidak mendapat tanggapan kontra. Hal demikian bisa dipahami bahwa standar 3,01 dimungkinkan masih bisa diraih oleh hampir semua siswa. Tetapi pada tahun berikutnya dengan terbitnya keputusan Mendiknas Nomor 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional dengan standar 4,01 muncullah berbagai pendapat kontra dan kritikan tajam. Dan demonstrasi menentang keputusan Mendiknas pun tak terelakkan. Asumsi yang mendasari kesemuanya itu pada umumnya adalah kekhawatiran banyaknya siswa yang akan tidak lulus, bila bercermin pada perolehan hasil ujian nasional pada tahun 2002/2003.

Standar UAN yang sekarang dipatok dengan angka 4,25 sebetulnya tidak matching dengan kurikulum 1994 yang berlaku. Angka tersebut masih jauh berada di bawah standar kenaikan kelas, yaitu 6,00. Logikanya standar UAN yang diberlakukan sekarang tidak perlu diributkan. Kalau kita sudah terbiasa dengan dengan angka 6,00 mengapa harus takut dengan angka 4,01 dan 4,25? Simpulannya tentu ada yang tidak beres dengan sekolah kita. Di sini kita semua harus introspeksi seperti apakah sekolah kita ini?. Tanpa diragukan semua akan mengatakan sekolah kita mutunya rendah.

Biang kenaikan standar kelulusan UAN adalah rendahnya mutu pendidikan dengan tradisi lulus seratus persen. Persepsi yang terjadi di masyarakat terhadap sekolah yang bermutu berangkat dari prosentase kelulusannya. Sehingga sekolah berusaha meluluskan semua siswanya tanpa menghiraukan hasil ujian nasional. Maka terjadilah manipulasi nilai yang mencengangkan karena rentang nilai ujian nasional dengan ujian sekolah terlalu lebar. Kondisi tersebut harus segera diperbaiki dengan kebijakan yang merangsang motivasi untuk berkompetisi antarsiswa maupun antarguru (Indra Jati Sidi, Kompas : 3/3/04).

Problematika Sekitar UAN

Tetapi penyelenggaraan UAN yang dimaksudkan untuk pemetaan dan memperbaiki mutu pendidikan sulit dipertanggungjawabkan karena cakupan mata pelajaran (mapel) yang diujikan hanya tiga mata pelajaran untuk setiap jurusan. Adapun untuk SMA jurusan IPA terdiri atas Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika sedangkan untuk IPS yaitu Bahasa dan sastra Indonesia, Bahasa Inggris dan Ekonomi. Bahkan bisa dikatakan dengan adanya UAN arah pendidikan menjadi bias. Fakta di lapangan menunjukkan banyak sekolah yang mengkonsentrasikan diri hanya pada mapel UAN. Semua sekolah menyiapkan diri menyambut UAN dengan mengadakan pengayaan untuk mapel UAN pada sore hari.

Keadaan tersebut tidak menguntungkan bagi pengembangan sains karena UAN tidak memasukkan mapel sains seperti Fisika, kimia dan Biologi. Ketiadaan hubungan antara mapel sains dengan UAN menyebabkan sekolah lebih memilih mengabaikan keberadaan ketiga mapel tersebut. Kecenderungan demikian didukung oleh anggapan bahwa mutu sekolah seolah-olah ditentukan oleh mapel UAN. Sedangkan masalah penilaiann mapel sains yang diserahkan kepada sekolah gampang diatur.

Konskuensi logis terhadap guru sains, secara psikologis merasa dimarjinalkan. Pengaruhnya terhadap proses pembelajaran sangat besar karena guru merasa tidak ada tuntutan akuntabilitas. Tidak ada dukungan motif yang kuat untuk apa sains diajarkan, kecuali hanya sekedar untuk mengisi jadwal kelas. Masalah nilai bisa diatur. Kondisi demikian diperparah oleh perilaku permisif oleh semua warga sekolah lantaran orientasi sekolah pada target kelulusan siswa.

Jargon penilaian "gampang diatur" menjerumuskan sekolah dengan laporan-laporan palsu kepada masyarakat. Sekolah sebagai pemegang otoritas kelulusan lebih memilih resiko minimal terhadap masyarakat. Strategi yang digunakan adalah menyiapkan nilai mapel yang tidak di-UAN-kan di atas ambang nilai 4,25. Dengan demikian kelulusan siswa hanya tergantung dari mapel UAN, dan sekolah tidak merasa punya beban.

Pengaruh mapel UAN menjerumuskan arah karier hidup siswa. Anggapan yang berkembang mapel UAN merupakan doktrin terpenting bagi siswa. Bila ada salah satu mapel yang gagal ibarat hidup sudah gagal. Padahal siswa berkembang dengan potensi yang dimilikinya, dan memilih jalan hidup sesusai dengan potensinya. Untuk apa belajar ekonomi sampai puyeng, kalau siswa mencintai seni atau untuk apa belajar bahasa Indonesia setengah mati kalau siswa lebih tertarik menjadi olahragawan dari pada Linguist. Toh dengan kemampuan Bahasa Indonesia yang ia kuasai ia bisa berkomunikasi melalang ke seluruh penjuru Nusantara.

Dan hasil UAN tidak bermanfaat bagi siswa SMA yang punya minat ke Perguruan Tinggi. Tampak tidak adanya kontinyuitas antara SMA dan perguruan tinggi, mengapa harus mengikuti seleksi lagi untuk mapel yang sama. Nota bene naskah mapel yang dibuat para ahli berdasarkan standar nasional, jadi bukan karena scope pelaksanaan yang bersamaan secara nasional. Bila memang sudah berstandar nasional tentunya tidak perlu lagi adanya seleksi untuk mapel yang sama agar tidak terjadi inefisiensi. Ironis memang, nilai cost yang dikeluarkan begitu tinggi sama sekali kurang bermanfaat, hanya sekedar bahan pertimbangan kelulusan. Masuk akal juga bila ada sementara pihak yang menyebut UAN bernuansa proyek.

Pelaksanaan UAN

Dana ratusan milyard rupiah untuk penyelenggaraan UAN bisa diminimal-kan dengan cara desentralisasi. Contoh simpel dan konkrit yang menyangkut UAN adalah dana penggandaan naskah dan koreksi lembar jawab. Pengelolaan kedua hal tersebut bisa diserahkan kepada sekolah atau Dinas Pendidikan Kabupaten. Dan Pemerintah Pusat hanya menyediakan master soal dalam bentuk disket sedangkan untuk pencetakannya dilakukan oleh sekolah dengan subsidi dari pemerintah. Kemudian untuk koreksi lembar jawab tidak perlu dilakukan terpusat di Propinsi, karena sebetulnya sekolah atau Dinas Pendidikan Kabupaten pun mampu melaksanakan tugas tersebut. Baru dari dua poin itu saja sudah bisa dilakukan efisiensi jutaan rupiah.

Agar UAN berfungsi seperti yang diharapkan oleh pemerintah sebagai pengendali mutu yang bermuara pada pengembangan SDM Indonesia, hendaknya UAN punya ruh yang mampu memberikan motivasi berprestasi dan berkompetisi antar siswa, serta guru-gurunya. Bagi siswa jurusan IPA, mapel UAN seolah tidak menyentuh esensi apa yang selama ini dipelajari. Ciri khas jurusan yang menjadi kebanggaanya, seperti Fisika, Kimia, dan Biologi, tak begitu bermakna bila dibanding dengan mapel UAN. Makna mengapa siswa mengambil jurusan IPA merupakan pilihan azasi yang berkait dengan pilihan hidup. Untuk itu UAN harus bisa dimaknai oleh siswa. Dengan demikian ada salah satu alasan bagi siswa mengapa harus berpacu belajar sains.

UAN Diperlukan

Pengalaman menarik di sekolah, ditemukan bahwa ada seorang siswa hanya lulus pada UAN ulangan tidak lulus pada UAN utama, tetapi ia berhasil diterima masuk di perguruan tinggi (PT) melalui jalur PMDK. Setelah beberapa semester sekolah mengecek keberadaan mahasiswa tersebut apakah kena DO atau tidak, tetapi malah mengherankan bahwa mahasiswa tersebut punya indek prestasi yang bagus. Lalu apa kaitannya dengan UAN? Bila UAN dengan mapel yang sekarang diujikan, sebaiknya sistem tidak lulus ditiadakan karena hanya menghambat karier siswa. Hasil UAN tidak perlu dijadikan tolok ukur kelulusan sekolah tetapi dijadikan acuan indeks peringkat sekolah. Sehingga tidak diperlukan batas ambang, berapapun hasil UAN yang ada ditulis pada ijazah. Namun hanya dengan tiga mapel, hasil UAN tidak valid untuk menggambarkan prestasi sebuah sekolah.

Pengertian yang dimaksud dengan sistem tidak lulus ditiadakan adalah berapapun nilai UAN yang diperoleh oleh siswa, tidak mempengaruhi siswa untuk tidak lulus. Tetapi bila hal ini diterapkan, tentunya sistem tidak naik kelas juga tidak ada. Sehingga yang ada adalah siswa naik kelas dan lulus. Pengaruhnya terhadap siswa, memungkinkan ia mengembangkan potensi yang dimiliki semaksimal mungkin. Karena sejak awal ia sudah punya pilihan mapel sesuai dengan potensi dirinya, dan tentunya ia dengan senang hati mempelajari mapel tersebut secara sungguh-sungguh. Dampak negatifnya akan ada mapel yang diabaikan, sehingga nilainya sangat rendah. Tetapi ke depan ia akan menjadi seorang spesialis yang professional bukan generalis yang canggung. Sebaliknya dengan adanya UAN sebagai pertimbangan kelulusan, siswa suka atau tidak suka, mendapat manfaat atau tidak bagi kehidupannya kelak, siswa terpaksa belajar karena takut gagal, menghambat karier hidupnya. Siwa tidak punya pilihan lain untuk belajar sesuai dengan potensi yang dimiliki.

UAN sebagai alat kontrol sekolah pada era otonomi masih diperlukan sepanjang tidak digunakan sebagai penentu kelulusan namun berfungsi layaknya instrumen penelitian. Tetapi mapel UAN diperluas. Dari data yang diperoleh bisa digunakan sebagai bahan rekomendasi terhadap Depdiknas dalam pengambilan kebijakan pendidikan untuk meningkatkan mutu. Dari hasil tersebut bisa juga diperoleh peringkat kedudukan sekolah yang satu dengan yang lain. Akibatnya sekolah secara moral tetap terikat komitmen pada standar baku yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Dan kekhawatiran terjadinya rentang mutu sekolah yang jauh antara satu dengan yang lain bisa dihindari. Sekaligus melindungi hak guru sebagai pemegang otoritas evaluasi seperti tercantum pada pasal 58 UU Sisdiknas.

Alasan lain UAN tetap diperlukan adalah sebagai alat seleksi ke PT, oleh sebab itu bukan sebagai bahan pertimbangan kelulusan. Namun dengan tiga mapel UAN tersebut tidaklah representatif, harus ditambah sesuai dengan kebutuhan di PT. Dan sudah barang tentu tidak semua siswa melanjutkan ke ke PT, konskuesinya juga tidak semua siswa mengikuti UAN. Karena menyangkut dengan institusi lain, koordinasi antara Departemen Pendidikan dan PT diperlukan.

Saya sependapat dengan wacana tentang Ujian Akhir Nasional perlu dibuat standarisasi pendidikan. (Kompas, 16/3/2003). Diasumsikan pengaruhnya terhadap sekolah akan sangat besar, yaitu adanya persaingan antar sekolah. Mereka akan berpacu menggenjot siswanya belajar semaksimal mungkin dengan harapan untuk mendapatkan peringkat atas. Namun hal ini pun juga tidak punya makna bila kecurangan-kecurangan tetap muncul di sekolah (kompas, 29/1/2005). Dan ini bukan sebuah dilemma tetapi sebuah persoalan yang menarik untuk selalu dicermati.

UAN sebagai alat pengendali mutu sulit diterima keabsahannya. Desain formula UAN diperlukan yang memungkinkan mampu mewadahi berbagai kepentingan. Dan UAN tetap diperlukan dengan berbagai prasarat yang menyertainya.

UAN SIAPA TAAKKUUTT??!!

UAN 3 HARI TUK MENENTUKAN 3 TAHUN